Kemajuan teknologi dan arus informasi yang semakin cepat telah memunculkan realitas baru di dalam persoalan yang semakin merumitkan dan memudahkan manusia di dalam kehidupannya, yakni masa teknologi informasi yang berbasis digitalisasi. Realitas berasal dari kehidupan semacam itu telah menjadikan kehidupan rumit dan sekaligus enteng bagi manusia (lihat anggota pertama postingan ini: Tantangan Pendidikan Dasar Era Digital).
Kemajuan teknologi https://dpp-kkdb.com/ memperumit kehidupan manusia disebabkan manusia memasuki kehidupan digital yang cenderung berlawanan bersama dengan fitrah kemanusiaannya sebagai mahluk sosial yang butuh Kedatangan manusia lainnya. Kebutuhan ini semakin sukar dipenuhi dan mengalami degradasi berasal dari sisi mutu relasi sosialnya di dalam kehidupan bersama. Sementara di sisi lain, kehidupan praktis manusia semakin dipermudah, segala sesuatu semakin enteng dan cepat dijangkau oleh manusia.
Perkembangan ini memaksa beraneka sektor kehidupan untuk menengok dan perhatikan “mahluk teknologi super canggih” yang telah jadi fenomena luar biasa di dalam kehidupan bersama dengan di dunia. Ia telah menghubungkan manusia bersama dengan beraneka kompleksitas dan kerumitan yang ekstrem di dalam kehidupan bersama dengan masa depannya (James Canton, 2009:5). Pola jalinan itu tetap terus dapat berkembang untuk menghasilkan bentuk-bentuk terkini di dalam relasi antar manusia dan manusia bersama dengan teknologi informasi.
Teknologi modern telah menguasai manusia. Ia nampak “netral” saat diciptakan, sebagai sains modern yang bebas nilai itu. Tetapi kemudian ia menjelma jadi “alat bantu efektif” di dalam menindas manusia. Seperti yang diyakini oleh Herbert Marcuse bahwa teknologi tidaklah netral, ia memihak kepada kapital, mengekploitasi manusia, bahkan sesungguhnya memperbudak dan menopang menindas manusia.
Baca Juga : Tantangan Pendidikan di Indonesia di dalam Era Digital: Cara Beradaptasi dan Upaya Untuk Mengatasinya
Tidak berhenti sampai di situ, pertumbuhan teknologi informasi telah mendesain kehidupan sosial dan peradaban dunia di dalam satu skenario tunggal-seragam, agar memunculkan dominasi struktural budaya bersama dengan kesadaran palsunya dan melahirkan dunia berdimensi tunggal.
Sedangkan ancamannya dunia senyap akibat pengaruh teknologi informasi yang berakhir pada alienasi (keterasingan) para penggunanya. Penghuni dunia mengalami kesepian di dalam keramaian kehidupan (Fritjof Capra, 1998). Sampai di situ selesaikah persoalan dan ancaman yang ditimbulkan teknologi. Tidak, ia terhitung memasuki dunia pendidikan dan para penghuni di di dalam proses pendidikan kita, generasi bangsa. Isyu teknologi informasi memasuki dunia pendidikan basic kita.
Pendidikan basic kita tidak sanggup dan tidak boleh menghindari pertumbuhan semacam itu, kecuali tidak mengidamkan tertinggal berasal dari dunia yang terus berkembang. Bagaimana anak-anak usia sekolah basic mengalami tranformasi sosial dan kultural yang di dalam akibat sentuhan teknologi, baik di dalam konteks sebagai instrumen pendidikan maupun di dalam konteks sebagai kebudayaan sebagai pola dan rutinitas tabiat manusia.
Perilaku anak anak usia sekolah basic semakin akrab bersama dengan informasi dunia maya yang benar-benar beragam corak dan kepentingan segmen pasarnya. Itu berarti dua kutub teknologi yang positif dan negatif tengah bertarung di dalam generasi bangsa kita, kendati tidak selalu, yang lebih dominan tumbuh subur dan berkembang adalah kutub negatifnya.
Anak-anak kita tidak memiliki bekal untuk menyadari dan menyadari apa dan bagaimana dan juga mengapa informasi lewat dunia maya “menghampiri” dan dibuka oleh mereka. Kondisi ini disebabkan oleh banyak pihak yang tidak siap bersama dengan beraneka pergantian yang cepat dan ekstrem perihal pertumbuhan teknologi informasi dan kecepatan mutasi informasi yang di tawarkan oleh kemajuan teknologi, lewat proses digitalisasi yang benar-benar masif bersama dengan pengembangan proses dan perangkat lunaknya yang semakin canggih dan juga menembus batas-batas kesadaran dan antisipasi para guru, sekolah dan stakeholder pendidikan pada umumnya.
Maka, tanggapan semua pihak bersama dengan segala pertimbangannya jadi benar-benar lemah dan minimalis dihadapan pergantian dan kecepatan yang berlangsung di dalam pergantian itu. Bahkan beberapa besarnya beranggap situasi itu sebagai biasa saja, padahal sesungguhnya tengah berkerja suatu proses nilai baru yang tawarkan segala bentuk kehidupan teranyar yang biasanya belum dipahami bahkan disadari dan ujungnya mengejutkan proses regenerasi masyarakat dan bangsa, bahkan dunia. Dunia mengalami keterkejutan budaya, bahkan gegar budaya.
Era digital telah menjadikan proses menyadari dan menyadari pada generasi bangsa jadi berlainan dibandingkan bersama dengan generasi sebelumnya. Diperlukan proses menyadari dan menyadari yang lebih cepat dan lebih kompleks, kala karakteristik individu di dalam menekuni proses menyadari dan menyadari tidak pernah berubah.
Bisa dibayangkan apa dan bagaimana situasi yang tengah berlangsung itu. Maka yang dibutuhkan adalah kebolehan menekuni proses bernalar berasal dari generasi kita yang dapat menjadikan mereka memiliki tingkat adaftasi dan inovasi di dalam merespon pertumbuhan pergantian dimaksud.
Guru yang baik dan handal menyadari dan menyadari bagaimana proses bernalar di dalam diri anak didiknya merupakan proses yang menakjubkan. Proses bernalar itu mengakses area dan beri tambahan rangsangan bagi tumbuhnya sel-sel otak yang tengah aktif di dalam memenuhi rasa mengidamkan menyadari pemilikinya, subjek yang bernalar.
Cara guru mengatasi pertumbuhan bernalar anak di dalam usia pendidikan basic benar-benar merubah pertumbuhan pola dan kemandirian bernalarnya. Maka saat anak bertanya, dan orang dewasa (gurunya) tidak beri tambahan jawaban yang tepat bersama dengan cara yang tepat, proses bernalar anak berhenti.
Rasa mengidamkan menyadari generasi bangsa bersama dengan bersama dengan kekuatan imajinasi dan kekuatan kreativitas yang dimiliki harus dibangun lewat area kebebasan yang memadai. Ini mendorong anak capai puncak keberhasilan di dalam “menemu-kenali” kemampuan, potensi, dan talenta yang dimilikinya.
Jadilah mereka manusia masa depan bersama dengan identitas otonomnya. Identitas semacam itu, dikembangkan di dalam diri generasi lewat proses dialektik yang saling merubah antara yang nilai universal dan nilai partikular, antara apa yang mereka memiliki bersama dengan dan dan apa yang secara kultural spesifik (Bhikhu Parekh. 2012:169-171). Dimensi ini membiak di dalam alam pikir dan alam jiwa yang berinteraksi bersama dengan alam sosialnya membentuk dirinya jadi privat bersama dengan nalar dan menjadi yang otonom.
Pendidikan bertujuan membebaskan manusia berasal dari belenggu mitos dan ketidakbenaran di dalam bernalar. Kita mengidamkan lahirnya generasi terdidik yang berani bernalar sendiri. Memiliki otonomi dan kemandirian di dalam merespon dinamika kehidupan, tidak enteng terombang ambing di dalam pergantian dan anomali cuaca sosial yang ditingkahi beraneka isyu yang berlangsung pada masyarakatnya.
Maka pendidikan basic jadi urgen bagi generasi bangsa untuk letakkan pijakan etik, nilai dan dasar-dasar bernalar yang kokoh bagi generasinya. Yang mutlak adalah integritas bernalarnya, bukan personalitinya (Steven Pinker. 2019:9-19). Pendidikan basic bertujuan mengajak para pendidik berpikir jauh menembus batas terluar dan terdalam berasal dari urgensi pendidikan dan informasi pengetahuan yang sarat bersama dengan nilai pada materi di sekolah dasar, agar menuntun generasi bangsa kepada pemahaman dan kesadaran yang sanggup memunculkan potensi etik dan nalar kreatif dan juga nalar kritisnya.
Dengan kemandirian bernalar yang dimilikinya, mereka memiliki potensi kebolehan untuk menjunjung kerumitan di dalam mengungkap beraneka moment yang melingkupinya, menjunjung beraneka realitas yang otonom. Kesadaran yang serupa mendorong generasi kita untuk mengembangkan sikap berhati-hati pada asumsi yang besifat sederhana, dangkal, dan juga menghindari kecenderungan menghadapi beraneka fenomena buta, yang banyak berkembang di dalam kesemuan dan kedangkalan dewasa ini (Soejatmoko. 1976: 14).
Inilah fenomena yang mewabah di dalam masyarakat yang hidup di masa digital. Kemampuan untuk menyadari dan mengunyah pemahaman tidak seimbang bersama dengan kebolehan mengetahuinya. Informasi beri tambahan pengetahuan yang melimpah tetapi tidak pemahaman yang mewah, maka area kesadaran bagi kehidupan menyempit di dalam masyarakatnya.
Pendidikan Dasar mengajarkan anak-anak perihal masa depan bersama dengan perangkat nilai yang berlaku di masa depan. Diperlukan pengetahuan perihal masa depan yang sanggup membekali mereka untuk hidup di masa depan. Guru yang baik dan handal senantiasa memberi perspektif bagi generasi yang didiknya. Ia beri tambahan oase bagi kehidupan masa depan anak didiknya. Guru “memprediksi” masa depan anak didiknya dan bangsanya. Peradaban suatu masyarakat dan bangsa sanggup tercabik-cabik di dalam roda pembangunan dan kompetisi antar masyarakat dan bangsa di dunia, kecuali guru tidak datang di dalam ritual semacam itu.
Dunia menggelinding dan kita sebatas melanjutkan rutinitas di dalam kehidupan yang pernah dialami dan dilakukan manusia terdahulu di dalam kehidupan mereka. Maka pendidik dan guru mutlak untuk memiliki kesadaran menyangkut kenisbian dan dimensi relatifitas di dalam kehidupan. Setiap individu harus mengembangkan kesadaran perihal sense of relatifity (Soejatmoko. 2010: 16-17), dikarenakan kehidupan yang berlangsung “tanpa ujung” senantiasa menghadirkan pergantian dan ketidakpastian bagi manusia.
Pada situasi itu tiap-tiap entitas senantiasa memiliki area untuk beralih atau diubah oleh kehidupan. Begitulah dunia berjalan, sesungguhnya apa yang berlangsung hari ini hanya pemutaran lagi berasal dari yang pernah berlangsung di dalam kehidupan yang lalu. Maka untuk pengulangan semacam itu, guru tidak pernah suntuk dan jera jadi anggota berasal dari yang aktor yang mengawal rutinitas yang telah, tengah dan dapat terus mengharu-birukan semesta jagad raya.
Jagad semesta di dalam haru-biru semacam itu dipertajam bersama dengan arus deras informasi yang laksanakan proses mutasi di dalam tingkat kecepatan yang luar biasa. Akibatnya dirasakan betapa semakin kuat dan tajam dan juga mendalamnya beraneka pergantian yang berlangsung di dalam kehidupan bersama dengan kita.
Situasi itu tidak enteng untuk dipahami, bahkan sebatas untuk diikuti saja telah melahirkan banyak persoalan di dalam kehidupan. Dunia pendidikan dan masyarakat pada biasanya mengalami kegagapan menghadapi fenomena global yang sarat bersama dengan beraneka konflik sosial dan “guncangan kebudayaan”.
Fenomena ini digambarkan kepada dua kecenderungan besar, yakni beberapa sanggup melaju ke arah peradaban baru yang semakin canggih dan miliki nilai bagi kehidupan, tengah beberapa lagi semakin terpuruk di belakang dan mengalami kerusakan nyata-nyata pada sendi-sendi kebudayaan dan kehidupan bersama dengan mereka. Kondisi ini seterusnya mengalami perluasan pada tingkat negara.
Banyak negara mengalami kegagalan di dalam laksanakan proses pembangunan dan modernisasi yang dikibatkan antara lain oleh pertumbuhan pengetahuan pengetahuan dan teknologi informasi bersama dengan segala turunannya bersama dengan kompleksitas yang tinggi gagal dipahami oleh praktik pendidikan dan masyarakat terhitung pemerintahan di beraneka negara. Inilah paradoks berasal dari globalisasi yang tidak terhindarkan di dalam tatanan kehidupan dunia baru.
Eksistensi dan mutu sebuah bangsa terpengaruh oleh penguasaan-penguasaan di bidang lain sebagai pendukung eksistensinya di masa kebudayaan global. Pendidikan dan masyarakat tidak lumayan menjadi aman hanya bersama dengan menutup diri. Sikap semacam itu hanya menjadikan pendidikan dan bangsa semakin jauh tertinggal di dalam usaha laksanakan penyesuaian pada pertumbuhan budaya global, maka yang berlangsung adalah semakin banyak masyarakat jadi objek pergantian dan bukan jadi subjek perubahan.
Pendidikan basic dan masyarakat bersama dengan kasat mata telah didikte oleh pertumbuhan yang cepat dan liar di dalam dinamika sosial budaya yang hampir tanpa batas. Dampaknya, pendidikan dan masyarakat lebih cenderung ikuti dan jadi pengekor kecenderungan global ketimbang jadi sumber pengubah dan penentu kecenderungan.
Demikianlah, jalur terjal pendidikan basic kita yang berada di dalam dunia super modern yang terus berubah. Ujung berasal dari pusaran pergantian itu belum menampakkan diri, kala kompleksitas persoalan jadi anggota yang inheren di dalam kebijakan pendidikan.
Kemajuan teknologi informasi mendorong terjadinya beraneka pengambilan ketetapan dan tindakan berlangsung bersama dengan cepat dan mudah. Situasi ini harus dikunyah dan diamati bersama dengan nyata-nyata oleh guru dan sekolah kita. Situasi itu menuntut terdapatnya keberanian untuk berpikir dan melakukan tindakan bersama dengan konsekwensi-konsekwensi yang nyata-nyata bagi dirinya sendiri. Maka wacana semacam ini harus jadi perhatian, agar pendidikan basic senantiasa memiliki kepekaan di dalam rentang perjalanan bersama dengan situasi penuh kegamangan.
Inilah tantangan pendidikan basic di masa digital sebagai wadahnya dan tantangan ini jadi jalur bagi pendidikan basic kita di dalam mengawal pertumbuhan dan dinamika generasi bangsa.
***
Pendidikan pertanda terdapatnya pengajaran, pengajaran pertanda nilai dan pengetahuan. Nilai dan pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran merupakan perspektif yang jadi basic bagi kebaikan dan harmoni di dalam kehidupan. Itu sanggup dilakukan dan direalisasikan kecuali pendidikan dan sekolah basic kita sanggup memenuhi kebutuhan generasi terdidiknya, guru yang baik dan handal. Karena berasal dari guru yang baik dan handal dapat lahir generasi bangsa yang baik handal pula.
Kita, pendidikan kita, masyarakat dan bangsa kita butuh guru yang handal itu. Maka kita harus edukatif guru kembali, agar guru jadi baik dan handal. Guru terhitung harus jadi murid yang baik dan handal, dikarenakan untuk jadi guru yang baik ia harus jadi murid yang baik. Ia harus studi terus.
Itulah kebutuhan pendidikan kita. Itu terhitung tantangan bagi pendidikan basic kita di dalam rejim digitalisasi kehidupan. Yang demikian itu dapat memberi kepastian bagi jawaban generasi yang hidup di masa milienial. Karena guru yang baik dan handal sanggup “meramalkan masa depan” generasi bangsa. Iya terhitung sanggup meredam kegamangan suatu bangsa.
Sumber : https://geotimes.id/kolom/urgensi-pendidikan-era-digital-jalan-pendidikan-dasar-kita/